Kamis, 24 Februari 2011

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

Dohong dan Tingang

Dohong adalah seorang pemuda kampung yang sehari-harinya menangkap burung di hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Suatu hari, sepulang dari menangkap burung, Dohong dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis cantik jelita di pondoknya. Siapakah gadis cantik itu? Lalu apa yang akan dilakukan Dohong terhadap gadis cantik itu? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Dohong dan Tingang berikut ini!

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Kalimantan Tengah ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kalang. Raja yang memerintah kerajaan tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Intan. Selain cantik, Putri Intan adalah seorang gadis yang berperangai baik, santun dalam berbicara, sopan dalam bergaul, dan hormat kepada yang tua. Tak heran, jika seluruh rakyat negeri itu sayang dan hormat kepadanya, kecuali seorang dayang istana. Setiap kali Putri Intan mendapat pujian dari rakyatnya, dayang yang satu ini selalu menunjukkan sikap tidak senang dan iri hati kepada sang Putri.

“Awas kau Putri! Suatu saat nanti aku akan menyingkirkanmu dari istana ini!” ucap dayang itu geram.

“Tapi, bagaimana caranya?” gumamnya bingung.

Setelah sekian lama berpikir, dayang itu pun menemukan sebuah cara untuk menyingkirkan Putri Intan dari istana.

“Hmmm... aku tahu caranya. Aku akan menyebarkan fitnah dengan menceritakan kepada semua orang bahwa Putri Intan selalu memperlakukanku secara semena-semana. Aku juga akan melaporkan kepada Raja bahwa ia selalu memeras rakyat,” pikirnya.

Keesokan harinya, dayang itu melaksanakan tipu muslihatnya. Dalam waktu tidak terlalu lama, fitnah tersebut telah menyebar hingga ke seluruh penjuru negeri. Seluruh rakyat pun terhasut oleh cerita yang dibuat-buat oleh dayang tersebut, sehingga mereka berubah sikap terhadap Putri Intan. Setelah berhasil menghasut seluruh rakyat negeri, dayang itu pun mencoba untuk menghasut sang Raja.

“Ampun, Baginda Raja! Perilaku putri Baginda benar-benar sudah keterlaluan. Ia telah membuat aib bagi keluarga istana. Sebagai seorang putri Raja, tidak sepantasnya ia berperilaku demikian. Untuk menjaga martabat kerajaan ini, sebaiknya Putri Intan dikeluarkan dari istana,” hasut dayang itu.

Tipu muslihat dan hasutan dayang itu berhasil memengaruhi Raja, sehingga ia pun menjadi benci kepada putrinya sendiri. Putri Intan pun mulai bingung melihat sikap orang-orang di sekitarnya, termasuk ayahandanya, yang tiba-tiba membencinya. Suatu hari, Putri Intan bertanya kepada ibundanya.

“Bunda! Apa salah Ananda hingga orang-orang membenci Ananda?”

“Putriku, barangkali ada ucapan atau perilaku Nanda yang kurang baik terhadap orang lain yang tidak Nanda sadari. Mulai sekarang, Nanda harus lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak,” ujar permaisuri.

Putri Intan semakin bingung, karena ia merasa bahwa selama ini tidak pernah menghina apalagi menganiaya orang lain. Oleh karena penasaran ingin mengetahui penyebabnya, ia pun bertanya kepada dayang-dayang dan inang pengasuhnya. Namun, tak satu pun di antara mereka yang mengetahuinya.

Sementara itu, si dayang yang iri hati tersebut terus menghasut sang Raja, sehingga kebencian sang Raja semakin menjadi-jadi. Berkali-kali sang Putri menghadap untuk menanyakan kesalahannya, namun sang Raja tidak menghiraukannya. Ia lebih percaya pada ucapan dayangnya tersebut. Akhirnya, suatu ketika sang Raja pun mengusir putrinya dari istana.

“Dasar, anak tidak tahu diri! Kamu tidak pantas menjadi putri kerajaan ini. Pergi dari istana ini!” usir sang Raja.

Dengan perasaan sedih dan deraian air mata, Putri Intan pergi meninggalkan istana. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan Yang Maha Adil tunjukkanlah keadilan-Mu kepada hamba! Siapakah yang menyebarkan fitnah ini?” ucap Putri Intan.

Sejak itu, Putri Intan menjadi rakyat biasa. Ia tinggal di pinggir hutan seorang diri karena semua warga telah membencinya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia mencari buah-buahan dan berburu binatang di hutan sekitarnya. Ia menjalani hidupnya dengan pasrah dan tidak dendam kepada orang yang telah memfitnahnya. Namun, ia yakin bahwa cepat atau lambat keadilan pasti akan datang.

Suatu hari, Putri Intan sedang berburu binatang di hutan itu. Sudah setengah hari ia berburu namun belum juga mendapatkan binatang buruan. Ia pun memutuskan untuk berburu hingga ke tengah-tengah hutan. Setelah beberapa jauh berjalan, sampailah ia di tengah hutan yang sangat lebat. Di sekelilingnya terdapat banyak pohon besar yang daunnya sangat rindang. Suasana tempat itu agak gelap karena sinar matahari terlindung oleh lebatnya dedaunan. Saat mengamati keadaan di sekitarnya, tiba-tiba Putri Intan dikejutkan oleh suara tawa yang sangat menyeramkan.

“Hi... hi... hi... hi....!!!”

Mendengar suara itu, jantung Putri Intan tiba-tiba berdebar kencang. Ia pun mundur beberapa langkah sambil mengelus-elus dadanya karena ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya sedang memegang sebuah tongkat. Wajah nenek itu sangat mengerikan dan rambutnya panjang acak-acakan. Rupanya nenek itu baru saja menyelesaikan pertapaannya.

“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya nenek sihir itu.

“Aku Putri Intan. Aku diusir oleh ayahandaku dari istana,” jawab Putri Intan.

“Wah... kebetulan sekali aku bertemu dengan gadis yang terbuang. Aku ingin mencoba ilmu yang baru kuperoleh dari pertapaanku. Aku akan menyihirmu menjadi seeokor binatang,” kata nenek itu.

“Ampun, Nek! Jangan sihir aku!” pinta Putri Intan mengiba.

Berkali-kali Putri Intan mengiba, namun nenek sihir itu tidak menghiraukannya. Nenek itu kemudian membaca mantra sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Tak pelak lagi, Putri Intan pun terkena sihir nenek itu dan serta merta berubah menjadi seekor burung tingang.

“Sihir di tubuhmu akan hilang jika kamu bertemu dengan pemuda yang akan membawamu kembali ke istana,” kata nenek itu.

Usai menyihir Putri Intan, nenek itu tiba-tiba menghilang entah ke mana, dan burung tingang jelmaan Putri Intan terbang ke sana kemari sambil berkicau merdu. Sejak itu, burung tingang hidup di tengah hutan tersebut. Ia terbang dari satu pohon ke pohon lainnya mencari makanan.
Pada suatu hari, burung tingang itu hinggap di sebuah pohon yang berbuah lebat. Betapa terkejutnya ia ketika akan meninggalkan pohon itu, kakinya terikat oleh perangkap sehingga tidak dapat bergerak. Berkali-kali ia meronta-ronta sambil mengepak-ngepakkan sayapnya hendak melepaskan diri, namun usahanya tetap gagal. Akhirnya, ia pun pasrah sambil berharap ada orang yang akan menolongnya.

Tak berapa lama kemudian, burung tingang mendengar langkah seseorang yang mendekat. Ia pun cepat-cepat berkicau merdu sambil meronta-ronta untuk menarik perhatian orang yang lewat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang pemuda tampan bernama Dohong. Ia bermaksud memeriksa perangkap yang dipasangnya kemarin. Rupanya, perangkap yang menjerat kaki burung tingang itu adalah miliknya.

Pemuda itu sangat gembira saat melihat seekor burung tingang meronta-ronta terkena perangkapnya. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera naik ke atas pohon untuk mengambil burung tangkapannya. Setelah memasang kembali perangkapnya, pemuda itu mengamati burung itu secara seksama.

“Wah, cantik sekali burung ini! Bulunya indah dan halus, matanya bening berbinar, kicauannya pun sangat merdu. Selama hidupku, baru kali ini aku memperoleh burung secantik ini,” ucap Dohong dengan kagum.

Dengan perasaan senang, Dohong segera membawa pulang burung itu untuk dipelihara. Setibanya di pondok, ia pun memasukkannya ke dalam sebuah sangkar yang terbuat dari rotan. Setiap hari ia merawat burung tingang itu dengan sangat teliti.

Keesokan harinya, Dohong kembali ke tengah hutan untuk memeriksa perangkapnya. Namun, sial nasib Dohong hari itu, karena tak seekor pun burung yang diperolehnya. Ketika hari menjelang siang, ia pun memutuskan untuk kembali ke pondoknya, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar.

Betapa terkejutnya ketika Dohong sampai di pondoknya. Ia melihat makanan lezat telah tersaji dan siap untuk disantap. Makanan tersebut benar-benar membangkitkan seleranya, apalagi perutnya dalam keadaan lapar, sehingga Dohong tidak memikirkan lagi siapa orang yang telah menyiapkan makanan tersebut. Ia pun segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.

Keesokan harinya, sepulang dari hutan, Dohong kembali mendapati makanan lezat telah tersaji di pondoknya. Kejadian aneh tersebut terulang hingga tiga hari berturut-turut. Dohong pun mulai penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan semua itu.

Pada hari berikutnya, pemuda tampan itu berpura-pura hendak memeriksa perangkapnya. Sebelum hari menjelang siang, ia masuk ke pondoknya dengan langkah hati-hati. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat asap tebal keluar dari sangkar burungnya. Dalam sekejap, tiba-tiba seorang gadis cantik keluar dari asap itu. Ia sangat terpana melihat kencantikan gadis itu, dan kemudian menghampirinya.

“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Dohong.

“Ampun, Tuan! Aku adalah Putri Intan dari Kerajaan Kalang. Keberadaanku di sini karena nasib buruk telah menimpaku. Ayahandaku mengusirku dari istana. Setelah itu, seorang nenek menyihirku menjadi burung tingang saat aku berada di tengah hutan,” jelas Putri Intan.

“Maaf, Tuan Putri! Mengapa Tuan Putri diusir dari istana?” tanya Dohong ingin tahu.

Putri Intan pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai ia berada di pondok pemuda itu. Setelah itu, ia meminta kepada Dohong agar mengantarnya kembali ke istana. Jika Dohong memenuhi permintaannya, maka sihir nenek itu akan hilang dengan sendirinya.

“Baiklah, Tuan Putri! Saya bersedia mengantar Tuan Putri ke istana,” kata Dohong.

Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke istana. Selama dalam perjalanan, Putri Intan pun tidak pernah lagi berubah wujud menjadi burung tingang. Pengaruh sihir nenek itu benar-benar telah hilang.

Sesampainya di istana, Dohong pun menceritakan semua yang dialami Putri Intan kepada Raja Kalang dan permaisuri. Akhirnya, Raja Kalang pun mengerti bahwa putrinya difitnah oleh seorang dayang istana. Seketika itu pula, ia mengumpulkan seluruh dayang-dayangnya. Setelah menanyai mereka satu persatu, akhirnya ia menemukan dayang yang telah memfitnah putrinya. Raja Kalang sangat menyesal karena lebih percaya pada kata-kata dayang itu daripada kata-kata putrinya.

“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah telah membuatmu menderita, karena mengusirmu dari istana,” ucap Raja Kalang.

Setelah itu, Raja Kalang pun menghukum dayang itu dengan memasukkannya ke dalam penjara. Kemudian ia menikahkan Dohong dengan putrinya dan menobatkannya menjadi pewaris tahta Kerajaan Kalang. Dohong dan Putri Intan pun hidup berbahagia.

* * *

Demikian cerita Dohong dan Tingang dari daerah Kalimantan Tengah. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu buah dari sifat suka menolong dan ganjaran yang diterima dari sifat suka memfitnah.

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

Sangi Sang Pemburu

Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia yang memiliki kekayaan alam berupa emas yang sangat melimpah. Logam berwarna kuning mengkilau itu banyak terdapat di dasar Sungai Kahayan. Di atas Sungai Kahayan yang panjangnya 600 kilometer tersebut, tampak sebuah pemandangan yang sangat menarik. Dari kejauhan kesan yang muncul adalah sebuah pemukiman terapung di tengah sungai. Kesan pemukiman terapung itu semakin kuat dengan adanya asap hitam yang mengepul tinggi ke angkasa. Setelah dilihat dari dekat, ternyata pemukiman itu adalah ribuan lanting (rakit kayu) tambang emas yang berbentuk rumah terapung berjejer hampir menutup semua alur sungai. Lanting-lanting tersebut berisi peralatan tambang berupa mesin yang setiap hari bekerja melakukan kegiatan penambangan, menyedot lumpur dan pasir dari dasar Sungai Kahayan untuk mencari emas.

Masyarakat di sekitar Sungai Kahayan meyakini bahwa keberadaan emas yang melimpah tersebut merupakan peninggalan leluhur mereka. Menurut cerita yang beredar, pada zaman dahulu kala, di daerah itu telah hidup seorang pemuda gagah yang bernama Sangi. Sehari-hari ia bekerja sebagai pemburu. Suatu hari, ketika ia sedang berburu di hutan, ia bertemu dengan seekor naga yang bisa menjelma menjadi pemuda tampan. Konon, siapapun yang bertemu dengan naga itu, maka ia juga akan menjadi naga jadi-jadian dan selalu awet muda. Inilah yang dialami Sangi, setelah bertemu dengan pemuda tampan itu, ia kemudian menjelma menjadi naga jadi-jadian dan selalu awet muda. Akan tetapi, Sangi harus mematuhi larangan yang diberikan oleh sang Pemuda yaitu tidak boleh menceritakan kejadian itu kepada orang lain. Suatu ketika, Sangi melanggar larangan itu, akibatnya ia pun berubah menjadi naga. Pada saat sebelum menceburkan dirinya ke dalam Sungai Kahayan, Sangi sempat membuang harta pusakanya berupa perhiasan dan kepingan-kepingan emas ke dalam Sungai Kahayan. Cerita ini berkembang di kalangan suku-bangsa Dayak Ngaju di Kabupaten Gunung Emas, Kalimantan Tengah, yang dikenal dengan cerita Sangi Sang Pemburu.

* * *

Pada zaman dahulu kala, di Kalimantan Tengah, hiduplah seorang pemburu tangguh bernama Sangi. Ia sangat ahli dalam menyumpit binatang buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu, ia selalu berhasil membawa pulang banyak daging binatang buruan.

Sangi tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Ia tinggal bersama keluarga dan kerabatnya. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang dan berburu. Ladang mereka masih sering berpindah-pindah. Selain itu, mereka juga mencari bahan pangan dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di hutan-hutan pedalaman.

Pada suatu hari, seperti biasa Sangi pergi berburu. Namun hari itu, ia sangat kesal. Dari pagi hingga sore, tidak seekor binatang buruan pun yang diperolehnya. Karena hari mulai senja, ia berniat pulang.

Dalam perjalanan pulang, Sangi melihat air tepi sungai sangat keruh. ”Sepertinya baru saja seekor babi hutan lewat di tepi sungai itu,” kata Sangi dalam hati. Karena penasaran, Sangi kemudian memeriksa bekas jejak kaki babi di tanah. Ternyata dugaan Sangi benar. Ia melihat bekas jejak kaki babi hutan di tanah menuju ke arah sungai. Dengan penuh harap, Sangi mengikuti arah jejak binatang itu. Tidak seberapa jauh dari sungai, ia menemukan babi hutan yang dicarinya. Namun sayang, sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di mulut seekor naga. Pemandangan itu sangat mengerikan dan menakutkan Sangi. Ia tidak bisa berteriak. Dengan pelan-pelan, ia beranjak dari tempatnya berdiri lalu bersembunyi di tempat yang tidak jauh dari naga itu.

Dari balik tempatnya bersembunyi, Sangi menyaksikan naga itu berusaha menelan seluruh tubuh babi hutan. Meskipun naga itu telah mencobanya berulang-ulang, namun usahanya selalu gagal. Karena kesal, akhirnya naga itu pun menyerah. Dengan murka ia palingkan wajahnya ke arah Sangi yang sejak tadi memerhatikannya.

Mengetahui hal tersebut, Sangi sangat ketakutan. Badannya gemetaran. ”Waduh gawat! Naga itu ternyata mengetahui keberadaan saya di sini. Jangan-jangan...naga itu hendak memangsa saya,” gumam Sangi dengan cemasnya. Baru saja ucapan itu lepas dari mulut Sangi, dalam sekejap mata bayangan naga itu menghilang dan menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Sangi sangat heran. Ketakutannya berubah menjadi ketakjuban.

Tiba-tiba, pemuda tampan itu menghampiri Sangi dan memegang lengannya. “Hei, anak muda! Telan babi hutan itu! Kamu tidak seharusnya mengintip naga yang sedang menelan mangsanya!” bentak pemuda tampan itu. ”Saa…saa…ya…tidak bisa,” kata Sangi ketakutan. ”Bagaimana mungkin saya dapat menelan babi hutan sebesar itu?” tambahnya. “Turuti perintahku! Jangan membantah!” seru pemuda tampan itu tak mau dibantah.

Mendengar bentakan itu, Sangi tidak bisa menolak apa yang diperintahkan pemuda tampan itu. Sangi kemudian mendekati babi yang tergeletak di tanah tak jauh darinya. Sungguh ajaib, dengan mudah Sangi menelan babi hutan itu, seolah-olah ia seekor naga besar. Sangi pun terheran-heran pada dirinya sendiri. ”Kenapa hal ini bisa terjadi? Ini benar-benar tidak masuk akal,” kata Sangi dalam hati. “Karena kamu telah mengintip naga yang tengah memakan mangsanya, maka sejak itu pula kamu telah menjadi naga jadi-jadian. Kamu tidak dapat menolak apa yang sudah terjadi,” ujar pemuda tampan itu menjelaskan.

”Apa? Aku tidak mau jadi seekor naga jadi-jadian. Aku mau jadi manusia biasa!” seru Sangi tidak terima. ”Tuan, jadikan aku menusia biasa saja!” serunya memohon. Mendengar permohonan Sangi, pemuda tampan itu tertawa terbahak-bahak, ”Haa...haa...haa..., kamu tak perlu cemas anak muda. Selama kamu dapat merahasiakan kejadian ini, kamu dapat terus menjadi manusia,” jelas si pemuda tampan. Bernakah itu tuan?” tanya Sangi tak percaya. Karena masih dihantui rasa penasaran, Sangi kemudian bertanya lagi kepada pemuda tampan itu, ”Apa keistimewaan menjadi seekor naga jadi-jadian itu?” sambil tersenyum, pemuda tampan itu menjawab, ”Sebenarnya kamu orang yang sangat beruntung. Dengan demikian, kamu akan terus awet muda. Banyak orang ingin awet muda, akan tetapi tidak bisa. Sedangkan kamu, dengan mudah mendapatkannya”. Sangi sangat senang mendengar jawaban itu, ”Wah, menyenangkan sekali kalau begitu, Saya bisa hidup selama beratus-ratus tahun.” Lalu, Sangi bertanya kembali, ”Apa larangannya?” Pemuda tampan itu menjawab, ”Kamu tidak boleh menceritakan hal ini kepada siapa pun. Jika kamu melanggarnya, wujudmu akan menjelma menjadi seekor naga. Kamu paham?” tanya pemuda tampan itu. ”Wah...mudah sekali larangannya tuan. Kalau begitu saya bersedia untuk mematuhi larangan itu,” jawab Sangi dengan mantap. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba pemuda tampan di hadapannya itu menghilang entah ke mana. Sangi pun bergegas pulang ke rumahnya.

Sejak itu, Sangi terus menjaga agar rahasianya agar tidak diketahui orang lain, termasuk kerabat dan keluarga terdekatnya. Dengan begitu, ia tetap awet muda sampai usia 150 tahun. Hal ini membuat para kerabat, anak cucu, dan cicitnya ingin mengetahui rahasianya hingga tetap awet muda. Mereka juga ingin seperti Sangi. Panjang umur, sehat, dan awet muda.

Setiap hari, mereka terus bertanya kepada Sangi mengenai rahasianya. Karena didesak terus-menerus, akhirnya Sangi membeberkan rahasia yang telah lama ditutupinya. Dengan demikian, Sangi telah melanggar larangan yang dikiranya mudah itu. Akibatnya, tubuhnya mulai berganti rupa menjadi seekor naga. Kedua kulit kakinya pelan-pelan berganti menjadi sisik tebal, dan akhirnya berubah menjadi seekor naga yang besar dan panjang. Menyadari hal itu, Sangi kemudian menyalahkan seluruh keturunannya yang terus mendesaknya hingga ia membeberkan rahasianya. Hal inilah yang membuat Sangi sangat marah dan geram. ”Kalian memang jahat! Kalian semua akan mati!” seru Sangi dengan geram.

Setelah itu, Sangi lari ke sana ke mari dengan marah. Seluruh badannya terasa panas Akhirnya, tubuhnya menjelma menjadi seekor naga. Sebelum menceburkan diri ke dalam sungai, ia sempat mengambil harta pusaka yang lama disimpannya dalam sebuah guci Cina. Guci itu berisi perhiasan dan kepingan-kepingan emas. Sangi terus berlari ke sungai. Setibanya di Sungai Kahayan, ia segera menyebarkan perhiasan dan kepingan-kepingan emas itu sambil berseru, ”Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, maka ia akan mati. Emas-emas itu akan menjadi tumbal kematiannya!”

Setelah itu, Sangi yang telah menjelma menjadi seekor naga, menceburkan diri ke dalam hulu sungai. Sejak itu, ia menjadi penjaga Sungai Kahayan. Anak Sungai Kahayan itu kemudian disebut pula sebagai Sungai Sangi. Anak keturunan Sangi yang mempertanyakan rahasianya banyak yang meninggal setelah itu.***

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

Kutukan Raja Pulau Mintin

Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir. Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan makmur.

Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.

Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan mendasar baru.

Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.

Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buayapun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.

Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,"kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan Bantilung."

Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.

(Diadaptasi secara bebas dari Lambertus Elbaar, "Kutukan Raja Pulau Mintin," Cerita Rakyat Kalimantan Tengah, Jakartaepdikbud, 1982, hal. 44-45).

kareh tinai aku manambah kesah sampai tuh helu

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

“MANDANGIN”

Di sebuah tempat di daerah Tumbang Manjul tepatnya kurang lebih 43 kilo meter dari desa tumbang judul manjul terdapat mitos tentang sebuah kerajaan makhluk baik.
Konon diceritakan bahwa di sungai mandaham desa Tumbang Manjul terdapat gaib yaitu Perek Rango yang dikuasai oleh titisan dari dewa angin.
Pada jaman dahulu sebuah hutan belantara yang tak jauh dari muara sungai mandaham hiduplah sepasang suami istri yaitu nyai Rangkas dan sangkajang.
Nyai Rangkas adalah keturunan dari makhluk gaib yang tinggal di kawasan bukit kejayah namun karena ia jatuh cinta dan kimpoi dengan Sakajang keturunan manusia biasa maka ia diusir dari kerajajan kajayah. Demi suami tercintanya Sakajang Nyai Rangkas rela meninggalkan keluarganya hingga akhirnya mereka tinggal di hutan dekat muara sungai mandaham. Karena saling mencintai hidup pasangan suami istri itu sangat rukun bahagia. Dalam kebersamaan mereka selalu saling membantu dan saling melengkapi kekurangan satu sama lainnya.
Setelah sekian lama bersama akhirnya mereka menyadari bahwa ada yang kurang dari kebahagiaan yang telah mereka nikmati selama ini, karena sudah sekian lama mereka hidup bersama namun pasangan suami istri itu belum juga dikaruniai keturunan. Untuk memperoleh keturunan pasangan suami istri itu rela melakukan apa saja, sudah berbagai macam ramuan mereka gunakan namun belum juga dikarunia seorang anak sampai pada suatu malam Nyai Rangkas bermimpi ia akan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun untuk memperolehnya ia harus melakukan pada malam bulan purnama, dian ritual pertapaan itu dilakukan di sebuah batu besar di tepi sungai mendahan sebelah hulu.
Malam berganti fajar Nyai Rangkas terjaga dari mimpi. Kemudian ia bangun dan keluar dari gubugnya untuk melihat keadaan sekeliling rumah mereka kemudian ia masuk kembali dan duduk di samping suaminya sambil memikirkan mimpinya mendapat keturunan. Tak lama kemudian suaminya bangun dan iapun menghampiri suaminya untuk menceritakan perihal tentang mimpinya itu kepada sang suami tercinta, dan sang suami pun mendengarkan dengan baik cerita istrinya. Namun setelah mendengar cerita dan istrinya Sakajang merasa resah dan kebingungan menentukan sikap. Di satu sisi ia ingin sekali melihat istrinya bahagia dengan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun di sisi lain ia tidak tega jika harus membiarkan istrinya sendiri di hutan selama sembilan hari sembilan malam dan hatinyapun tidak ingin berpisah dengan istri tercintanya. Walaupun hanya dalam waktu sebentar. Sebaliknya Nyai Rangkas ingin sekali melaksanakan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya, ia merasa sangat yakin kalau ia menjalankan pertapaan tersebut. namun sayang suami Nya Rangkas tidak mengijinkannya untuk pergi bertapa meski ia sudah berkai-kali memohon agar suaminya memberikan ijin sampai pada suatu malam dimana pada malam itu merupakan bulan purnama yang telah ditunggu-tunggu oleh Nyai Rangkas, ia pergi diam-diam dari sisi suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan langkah mengendap-endap Nyai Rangkas pergi keluar meninggalkan suaminya menuju hutan dengan menyusuri tepi sungai Mandahan dan untuk mencari batu besar sebagai tempat melakukan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya. Karena pada malam itu cahaya bulan terang sekali sehingga Nyai Rangkas tidak mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan, sampai akhirnya ia menemukan batu besar seperti yang ada dalam mimpinya. Setibanya ditempa tujuan Nyai Rangkas mengelilingi batu besar tersebut untuk mencari jalan naik menoleh ke kiri dan tekanan serta sesekali membalikkan badan untuk melihat keadaan di sekitarnya. Sesaat ia tempat kebingungan tiba-tiba terdengar suara seruan “Nyai Rangkas jika kau ingin mendapatkan seorang anak dari titisanku maka lakukanlah ritual pertapaan ditengah batu besar itu selama sembilan hari sembilan malam dengan posisi duduk menghadap arah matahari terbit”.
Mendengar suara seruan itu Nyai Rangkas merasa semakin yakin dengan firasat mimpinya, hingga akhirnya iapun duduk ditengh batu besar tersebut dengan posisi menghadap arah matahari terbit.
Dengan penuh keyakinan Nyai Rangkas melakukan ritual pertapannya, sementara sama suami yang ia tinggalkan panik dan bingung karena melihat isterinya tidak ada di rumah. Ketika hari mulai terang ia mencari isterinya di sekiling rumah tempat mereka tinggal seraya memanggil “Nya, … dimana kamu ! Nyai .. pulanglah ! sang suami terus memanggil nama isterinya sampai matahari hampir terbenam namun ia tak juga menemukan isteri tercinta. Karena hari sudah mulai gelap ia pun kembali pulang ke rumah meski ia sangat khawatir sekali dengan keadaan isterinya.
Malam sudah semakin larut namun Sakajang pun tak mampu memejamkan mata karena memikirkan kemana perginya sang isteri. Ketika melamunkan nasibnya yang sudah ditinggalkan sang isteri tercinta tiba-tiba sekarang teringat akan mimpi isterinya dan keringinannya untuk pergi bertapa mencari keturunan.....
  Semalaman Sakajang tak bisa tidur dan pagi-pagi ia pergi ke hutan untuk mencari isterinya. Ia menelusuri hutan tepi sungai mandahan namun anehnya ia tidak menemukan tempat seperti yang diceritakan istrinya, meski demikian ia tepat tidak putus asa sampai akhirnya ia berjalan di sebuauh rawa dan bertemu dengan seekor serigala yang sangat buas. Meski demikian Sakajang tetap tegar menghadapinya. Langkah demi langkah serigala buas itu mendekati Sekajang dengan cakar dan taringnya yang panjang seolah-olah siap menerkam hingga akhirnya terjadi perkelahian antara sekajang and serigala buas itu. Mereka saling bergelut di tanah rawa yang berlumpur
Dalam perkelahian itu Sakajang terluka dan jatuh terkapar di atas lumpur sehingga dengan mudah serigala buas itu menerkamnya kembali dan menancapkan taringnya pada bagian tubuh sakajang hingga akhirnya tewas dan menjadi santapan serigala yang kelaporan tadi.
Alangkah malangnya nasib sakajang, bertujuan pergi mencari istri tercinta namun di perjalanan menjadi mangsa serigala buas
Hari demi hari berlalu, ritual pertapaan telah dilakukan oleh Nyai Rangkas dengan sempurna, dan ketika ritual itu selesai tiba-tiba angin bertiup dengan sangat kencang, langit tampak bercahaya kemudian terdengar kembali seruan “Nyai Rangkas sekarang kamu telah mendapatkan yang kamu inginkan, tugas kamu adalah memelihara titisanku itu dengan baik karena suatu saat ia akan menjadi pembawa kedamaian bagi sebuah kerajaan yang sedang dalam kekacauan!”
Mendengar suara seruan tersebut Nyai Rangkas merasa semakin yakin kalau ia telah mengandung seorang anak yang dititiskan oleh dewa angin. Karena ritual pertapaan telah selesai maka Nyai Rangkas pun turun dan meninggalkan batu besar itu dengan hati yang berbunga-bunga. Ia kembali menyusuri tepi sungai dan pulang ke rumah dengan harapan memberikan kejutan untuk suami tercintanya.
Setibanya di rumah Nyai Rangkas melihat keadaan rumah sepi, senyap dan berantakan kemudian ia memanggil-manggil suaminya. Abang … abang … abang ada dimana ? saya ada berita gembira untuk abang ! setelah beberapa kali memanggil suaminya Nyai Rangkas tak jua mendengarkan jawaban dari suaminya. Hingga kemudian Nyai Rangkas keluar dan mencari suaminya di sekitar halaman rumah mereka. Karena suaminya tak ditemukan Nyai Rangkaspun pulang kembali ke rumah. Awalnya ia berpikir kalau suaminya hanya pergi sebentar ke hutan untuk mencari makanan atau berburu. Hari demi hari berlalu, sang suami yang dinanti tak jua datang sementara perut Nyai Rangkas semakin membesar dan harapan berkumpul kembali dengan sang suami tercinta sirna, dan perlahan-lahan merasa kesepian dan kehilangan suaminya Nyai Rangkas memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari suaminya.
Ketika matahari terbit Nyai Rangkas pun berangkat kehutan untuk mencari suaminya dengan membawa bekal seadanya ia bertekad tidak akan pulang tanpa suaminya. Dalam perjalanan menyusuri hutan ia melewati rawa-rawa tempat suaminya tewas diterkam serigala. Saat ia melihat keatas tiba-tiba ada seekor burung hitam menjatuhkan kotorannya iapun merasa kejadian itu pertanda bahwa hal buruk telah terjadi dan seketika pula perasaannya Nyari Rangkas jalan dan tanpa sengaja kakinya tersandung kayu sehingga ia pun terjatuh, dan tanpa sengaja pula tangan Nyai Rangkas tertuju pada sebuah gelang dari batu yang tergeletak di atas tanah, dimana di sekitar gelang tersebut juga terdapat tulang-tulang bangkai manusia. Melihat gelang tersebut Nyai Rangkas berkata dalam hati “Gelang ini adalah milik suamiku, oh dewa apakah yang terjadi pada suamiku” dan kemudian ia berteriak kencang memanggil-manggil suaminya” sekarang …. Suamiku … dimana kamu sekarang !!! karena tak kuasa menahan rasa sedih tubuh Nyai Rangkas gemetar kemudian pingsan.
Tidak tahu datang dari arah mana tiba-tiba datang seorang nenek menghampiri dan membawa Nyai Rangkas ke sebuah Gua. Yang mana gua tersebut tak jauh dari tempat Nyai Rangkas bertapa untuk memohon diberikan seorang anak. Saat sadar Nyai Rangkas merasa heran dan ia tidak tahu dirinya berada dimana. Lalu ia duduk, sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba datang seorang nenek tua membawa segelas air untuk Nyai Rangkas seraya mengatakan “sebaliknya Nyai minum air ini dulu agar badan Nyai lebih segar, dan Nyai jangan teralu banyak bergerak karena badan Nyai masih lemah” Nyai Rangkas pun menjawab “Tapi saya sekarang ada dimana ne dan siap nenek sebenarnya ? dari mana nenek mengetahui nama saya” nenek tua itupun menjawab “nenek ditugaskan oleh dewa angin untuk menjaga Nyai dan anak yang ada dalam kandungan Nyai.” Nyai rangkas masih bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya sesaat ia tercengang dan teringat akan suaminya, ia merasa menyesal telah meninggalkan suaminya waktu itu. saat Nyai Rangkas merenungi nasibnya, nenek tua itu datang kembali menghampirinya membawa makanan untuk Nyai Rangkas. Kemudian nenek itu mengatakan “sudahlah Nyai, jangan terlalu sedih kau memikirkan kepergian suamimu, karena itu sudah menjadi takdirnya” Nyai Rangkas menjawab “Tapi ne saya sangat mencintainya! Saya tak mampu hidup tanpanya. “Nenek tua itu menjawab lagi “nenek mengerti dengan perasaan nyai! Tapi yang harus Nyai lakukan sekarang adalah memikirkan keadaan anak yang ada dalam kandungan Nyai”........
Hari terus berganti, Nyai Rangkas terus menjalani hidupnya di gua bersama nenek tua yang diutus oleh dewa angin untuk menjaga ia dan bayinya. Hingga akhirnya Nyai Rangkas melahirkan seorang anak laki-laki yang mana anak tersebut ia beri nama Nandangin. Bersama nenek tua itu Nyai rangkas merawat dan menjaga mandangin hingga mandangin tumbuh menjadi seorang anak yang tampan dan baik hati.
Seiring dengan berjalannya waktu mandangin tumbuh dewasa. Ia tampan, kuat, dan baik hati serta suka menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, selain itu ia juga sangat berbakti kepada ibunya. Meski memiliki banyak kelebihan mandangin tidak pernah menyombongkan diri dan ia juga tidak pernah mengeluh tidak pernah dalam keadaan serba kekurangan dan tanpa seorang ayah. Sampai pada suatu hari ketika ia berburu di hutan ia melihat ada sebuah batu besar dan ia merasakan melepas rasa penasarannya mandangin naik keatas batu besar itu. tiba-tiba ia mendengar suara seruan yang ia pun tak tahu suara tersebut datang darimana “Mandangin jika kau ingin mendapatkan kekuatan dan kesaktian, lakukanlah pertapaan di atas batu itu selama satu purnama”, Seketika suara itu menghilang, mandangin tercengang sesaat kemudian ia pergi meninggalkan batu besar itu dan pulang kembali ke gua dengan membawa hasil buruannya. Namun sepulangnya dari batu besar itu mandangin tidak berbicara satu katapun kepada ibunya. Wajah dan perilakunya tampak seperti orang kebingungan. Melihat kelakuan mandangin yang tidak sama seperti hari-hari biasanya Nyai Rangkas mengampiri Mandangin dan bertanya “ada apakah gerangan yang terjadi denganmu anakku ? sepertinya kamu sedang bingung”. Mendengar pertanyaan ibunya mandanginpun menceritakan tentang kejadian yang ia alami saat pergi berburu. Mendengar cerita anaknya Nyai Rangkas terdiam. Ia bertanya dalam hati “apakah suara itu adalah suara dewa angin”. Tapi ia mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan mengatakan “mungkin itu hanya halusinasimu saja anakku” Mandangin menjawab mungkin juga ibu”! ia mengiyakan perkataan ibunya meski ia merasa yakin kejadian itu nyata. Malam semakin larut dan ke adaan sunyi senyap Nyai Rangkas tak bisa tidur karena ia terus memikirkan tentang cerita anaknya. Melihat Nyai Rangkas tidak bisa tidur nenek Kiap menghampirinya dan bertanya “apakah gerangan yang kau pikirkan Nyai ? sampai-sampai kau tak bisa tidur” mendengar pertanyaan nenek Kiap Nyai Rangkas langsung menceritakan kejadian yang dialami oleh Mandangin ketika pergi berburu.
Mendengar cerita itu nenek Kiap berkata kepada Nyai Rangkas “Nyai mungkin sekarang sudah waktunya Nyai membiarkan Mandangin untuk pergi mengembara dan menjalankan takdirnya sebagai pembela kebenaran”. Kemudian Nyai Rangkas bertanya pada nenek Kiap. “Lalu apa yang harus saya lakukan untuk Mandangin Ne” nenek Kiap menjawab “Besok pagi kau siapkan bekal untuk mandangin dan kau suruh dia pergi mengembara untuk menegakkan kebenaran. Namun sebelum pergi suruh dia bertapa terlebih dahulu selama satu purnama di batu besar seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadanya
Malam berganti pagi Nyai Rangkas sibuk menyiapkan bekal untuk mandangin pergi mengembara. Ketik matahari naik dari ufuk timur Nyai Rangkas menghampiri mandangin yang baru saja selesai makan. Ia berkata “wahai anakku sekarang kau sudah menjalankan takdirmu. Namun sebelu kau pergi mengembara kau pergi lakukanlah ritual pertapaan seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadamu agar kamu mendapatkan kesaktian sebagai bekal melindungi diri dan membela kebenaran”. Mandangin menjawab “Tapi bagaimana dengan ibu? Saya tidak tega meninggalkan ibu di sini!”. Mendengar pertanyaan anaknya dengan berat hati Nyai Rangkas mengatakan” sudahlah anakku, jangan kau pikirkan keadaan ibu suatu saat kau pasti akan bertemu lagi dengan ibu”!. Dengan berat hati pagi itu Nyai Rangkas melepaskan kepergian anaknya tercinta dan mandangin pun pergi meninggalkan gua yang menjadi tempat berteduh selama dalam asuhan ibunya. Dalam perjalanannya menyusuri hutan menuju tempat pertapan tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan cantik turun mandi di sungai Mandahan. Walaupun demikian mandangin tetap berjalan menuju tempat pertapaan setibanya di atas batu besar ia langsung melakukan pertapaan. Hari demi hari berlalu hingga satu purnama pun terlewati. Ketika ritual pertapaan selesai tiba-tiba terdengar suara petir seolah-olah memecah bumi kemudian diiringi dengan angin yang bertiup sangat kencang dan dahsyat pertanda kesaktian telah diperoleh Mandangin. Sebelum mandangin meninggalkan pertapaan terdengar suara seruan “Hai mandangin hari ini telah aku turunkan kesaktianku padamu, gunakanlah kesaktian itu untuk membela kebenaran”. Sesaat setelah suara seruan hilang mandangin pergi dan meninggalkan tempat pertapan dan memulai perjalanannya untuk mengembara. Ia terus berjalan menyusuri hutan tepi sungai Mandahan hingga akhirnya ia masuk ke sebuah kampung yang bernama Perek Rango. Kampung itu dikuasai oleh seorang penguasa yang bernama Tuman ia sangt jahat dan kejam serta suka menindas lain. Di kampung itu tidak ada lagi kedamaian semua penduduk tampak ketakutan ketika melihat Tuman dan gerombolannya. Meski demikian mandangin tetap berjalan menyusri kampung untuk mencari tempat peristirahatan. Ketika sedang duduk melepas lelah di sebuah pondok kecil, tiba-tiba mandangin melihat seorang gadis berjalan melintasi di hadapannya. Yang mana perempuan itu adalah istri dari Tuman sang penguasa yang kejam. Sesat mandangin tercengang dan merasa wajah perempuan itu tak asing lagi. Dan ternyata perempuan itu adalah orang yang ia lihat turun mandi di sungai mandahan ketika ia hendak pergi bertapa......

Angin bertiup sepoi-sepoi udara menjadi semakin sejuk menambah kenikmatan suasana pada sore itu. belum puas melihat suasana tiba-tiba datang gerombolan toman yang tampak beringas dan kejam dengan menyert beberapa warga dan menggotong tiga orang perempuan desa. Meski sampbil teriak mereka tampak tak berdaya melawan kekuasaan gerombolan tersebut. Melihat keadaan itu mandangin langsung berdiri dan menghampiri gerombolan itu seraya mengatakan “salah seorang dari gerombolan itu menjawab “Siapa kamu berani-beraninya kamu menantang kami”! mandangin menjawab “aku adalah mandangin dan aku tidak suka melihat ketidakadilan”. Mendengar perkataan mandangin para gerombolan itu marah dan menghadang mandangin dengan mandau. Namun mandangin tidak takut meski ia punya senjata hingga akhirnya perkelahianpun terjadi. Mandangin menghantam gerombolan itu dengan jurus-jurusnya hingga sebagian jatuh terkapar dan terluka karena merasa tak mampu melawan mandangin gerombolan itu pergi dan melaporkan kejadian itu kepada penguasa kampung yaitu si Tuman. Mendengar cerita itu Tuman marah dan mengambil senjata pusakanya kemudian mencari mandangin yang berani menantang kekuasaannya dengan diikuti oleh beberapa gerombolannya. Sampai akhirnya ia menemukan mandangin di sebuah rumah makan. Tanpa basa-basi toman langsung menghadang mandangin dengan senjata pusakanya. Namun mandangin tidak menanggapinya hingga akhirnya tuman memukulnya dan iapun menghela untuk membela diri. Dengan beringas toman terus memukul mandangin. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Toman mandangin melakukan perlawanan dan perkalahian terjadi dengan sangat sengit. Mereka saling adu kekuatan sihir hingga akhirnya tuman kehabisan energi karena terkena pukulan maut mandangin. Ketika toman tak berdaya tiba-tiba datang seorang perempuan menikamnya dari belakang dengan menggunakan sebuah belati. Dan ternyata perempuan itu adalah korban keserakahan dan nafsu birahi toman. Saat melihat wajah perempuan itu mandangin teringat kembali dengan perempuan yang ia lihat turun mandi di sungai mandahan. Namun ia tetap tak menyapanya. Ia hanya mampu memandang dari kejauhan.
Melihat Toman sudah mati masyarakat beramai-ramai menghampiri mandangin, mereka mengucapkan terimakasih karena mandangin mampu mengalahkan Toman dan membebaskan mereka dari cengkraman dan kekuasaan sebagai ucapakan terimakasih masyarakat bersepakat mengangkat Mandangin untuk menjadi pemimpin dan pelindung mereka dari kejahatan.
Karena sebagian besar masyarakat penghumin wilayah Perek Ranggo memintanya memintanya memimpin daerah itu maka mandangin tak mampu menolaknya hingga akhirnya ia menjadi pemimpin wilayah Perek Rango yang arib dan bijaksana sesuai dengan harapan ibunya tercinta.
Semenjak dipimpin oleh mandangin daerah perek rango menjadi daerah yang aman dan penuh kedamaian yang semua itu dapat dilihat dari wajah-wajah penduduk yang memancarkan keceriaan dan kebahagiaan.
Setiap hari mandangin selalu teringat dengan wajah perempuan cantik yang ia lihat turun mandi disungai mandahan. Untuk menghapus rasa penasarannya terhadap perempuan itu ia datang ke rumah perempuan itu dan mengambil perempuan itu untuk menjadi isterinya. Karena mandangin, adalah seorang pria yang tampan dan bijaksana sehingga tak ada perempuan yang mampu menolak lamarannya.
Akhirnya mandangin dan perempuan itu menikah dan membina rumah tangga yang bahagia bersama keturunannya.
Daerah Perek Rango selalu dikuasai oleh keturunan mandangin secara turun temurun dan daerah itu selalu dalam keadaan damai hingga sekarang.
Konon katanya jika kita ingin melihat daerah itu harus melakukan pertapaan di sebuah batu besar tempat pertapaan Nyai Rangkas dan Mandangin.

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

ASAL USUL TERJADINYA PULAU SERUYAN
DAN KUBURAN KERAMAT


Kanon dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang banyak memiliki anak, dari sekian banyak anak yang di miliknya ada salah satu anaknya yang berbeda dari anak-anaknya yang lain. Anak yang berbeda itu adalah anak yang paling bungsu, dari kecil sampai dewasa dia tidak suka mengenakan pakaian dia lebih senang telanjang bulat dari pada harus memakai pakaian. Anak itu bernama Bito, ketika masih kecil dia sering bermain di daerah pulau pantai untuk bermain-main sendirian di pantai bahkan hampir tiap hari waktunya di habiskan di pantai itu.
Dia tidak senang kalau dan bermain dengan anak-anak lain yang sebaya dengannya, dia paling suka berlari-larian sendiri di daerah pantai itu sambil memainkan air dan pasir tanah yang berwarna putih dari pagi sampai sore hari, seakan-akan daerah pantai tersebut telah menjadi rumah kedua baginnya dan lagi pula daerah pantai tersebut letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga dengan berjalan kaki beberapa meter saja sudah sampai ke tempat pulau pantai tersebut.
Kegiatan seperti itu dia lakukan tiap hari dan bahkan kegian rutinnaya sampai dia dewasa. Setelah dewasa Bito tetap saja tidak suka memakai pakaian dan ia lebih suka telanjang bulat seperti dia kecil, orang tuanya pun merasa malu tetapi setelah dewasa dia tidak lagi pergi ke pulau pantai yang sering di kunjunginya waktu dia masih kecil dulu dan dia masih senang berkurung diri di dalam rumah, karena terkucilkan dari saudara-saudaranya akhirnya dia membut sebuah gubuk kecil dengan ukuran yang sempit dan sederhana.
Di gubuk itulah Bito hidup seorang diri terasing dari orang tua dan saudara-saudaranya karena sering berkurung diri itulah mengakibatkan kakinya Bito lumpuh dan tidak berfungsi lagi sehingga untuk mencukupi kebutuhannya Bito cuma mengharap belas kasih dari orang lain tetapi terkadang ada juga kerabatnya yang berkunjung untuk memberi makanan, kebetulan juga letak kerabatnya itu tidak jauh dari rumahnya dan di antara kerabatnya melihat Bito seperti itu dia merasa kasihan dan iba sehingga ia meminta Bito tinggal bersamanya, Bito pun mengikuti saja karena dia sadar tidak mungkin sendirian tanpa bantuan orang lain lebih-lebih setelah kakinya menjadi lumpuh.
Maka tinggallah Bito dengan kerabatnya tersebut yang letaknya pun tidak jauh dari rumahnya. Di rumah itulah dia tinggal bersama pamannya yang bernama talib dan memiliki 5 orang anak, 2 perempuan dan 3 laki-laki sedangkan istrinya sudah meninggal. Paman Bito ini di kampungnya sangat dihormati karena memiliki sikap yang sangat rendah hati dan sangat dermawan serta suka menolong sesamanya.
Karena kebiasaan hatinya itulah maka dia mau menerima Bito dengan segala kekurangannya dan menggap Bito sebagai anak kandungnya sendiri, begitu pula anak kandungnya yang menanggap Bito sebagai saudaranya sendiri kandungnya sendiri, meskipun hubungan keluarga antara Bito dan pamannya ini terbilang kerabat jauh, tetapi pamannya tidak membeda-bedakan antara Bito dan anak kandungnya sendiri dan Bito pun disuruh menempati kamar yang lumayan cukup besar yang sama besarnya dengan kamar anak kandungnya tetapi Bito tidak mau dengan alasan kamarnya terlalu mewah untuknya karena dia merasa tepat itu berbeda dengan gubuk yang dulu ditempatinya.
Namun pamannya membujuk adul supaya mau menempati kamar tersebut. Di kamar itulah Bito menghabiskan hari-harinya setiap waktu dan kebiasaan Bito yang yang tidak mau memakai pakaian terus di bawanya sampai dia tinggal di rumah pamannya tetapi pamannya menggap itu bukan jadi masalah dan dia juga tidak pernah mau keluar dari kamarnya, dia lebih senang berkurung diri sendirian di kamar oleh sepupunya ( anak pamannya ) Gina, namun kebiasaannya Bito seperti itu tidak pernah membuat pamannya merasa terbebani tetapi dengan sabar dia merawat Bito.
Bertahun-tahun Bito hidup bersama dengan pamannya dengan sikap yang seperti itu sehingga Bito pun menunjukan suatu kelebihan yang ada dalam dirinya, di antaranya dia bisa menembak apa yang akan terjadi esok dan tebakannya itu benar terjadi dan seakan-akan dia bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Dengan kelebihan Bito yang bisa meramal seperti itu dengan cepat berita itu tersebar ke seluruh penduduk kampung sehingga banyak penduduk yang berkunjung meminta bantuan untuk di ramal dan meminta nasihat kepadanya, dengan iklas Bito membantu meramal dan memberi nasihat kepada penduduk yang datang tanpa ia memungut bayaran sedikitpun.
Tidak lama setelah Bito mulai menggunakan kelebihannya itu, pamannya meninggal dunia dan Bito pun merasa terpukul dan terpuruk hampir dia putus asa karena dia merasa sangat kehilangan orang yang sangat menyayanginya, orang yang selalu menghiburnya dan selalu membantunya serta selalu menemaninya saat dia membutuhkan dan saat seluruh keluarganya menjauhinya.
Sejak meninggal pamannya itu lah, tidak mau lagi meramal dan memberi nasihat kapada orang-orang yang datang kepadanya, hingga berbulan-bulan Bito terpuruk dalam kesedihan, dia merasa bersalah karena kelebihannya itulah yang mengakibatkan pamannya meninggal, karena sehari sebelum pamannya meninggal Bito sempat bermimpi perahu yang ditumpangi pamannya tersebut terbalik tapi tidak memberi tahu pamannya tentang mimpinya itu karena dia mengapa kalau mimpinya itu hanya kembang tidur saja, namun ternyata kejadian yang ada di mimpinya, sehingga dengan kejadian itulah dia beranggapan dirinyalah orang yang paling bersalah atas kematian pamannya tersebut, dan dia berfikir seandainya saja dia memberitahukan pamannya tentang mimpinya itu mungkin sekarang pamannya masih hidup. Melihat keadaan Bito yang terus menerus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian pamannya.
Maka anak pamannya yang bernama Gina kasihan dan merasa iba dengan keadaan Bito yang seperti itu berantakan dan jauh berbeda dengan Bito yang dulu ketika ayahnya masih hidup dan Gina pun berusaha membujuknya secara perlahan-lahan agar Bito bisa melupakan kesedihan dan ras bersalahnya terhadap pamannya tetapi Bito tidak memperdulikan bujukan Gina tersebut dan bahkan dia membujuk dan menyadarkannya kalau kematian pamannya itu bukan karena dia tapi atas kehendak yang Maha Kuasa. Gina pun membujuk Bito tanpa merasa lelah dan januh dan akhirnya membuahkan hasil, Bito pun sudah bisa menerima kemantra pamannya dengan adilasi.
Suatu malam Bito bermimpi bertemu pamannya dan dalam mimpinya itu pamannya meminta kepada Bito agar dia tetap memjadi Bito yang dulu yang memiliki sikap sendah hati dan suka menolong, hingga Bito pun terbangun dari tidurnya dan langsung memikirkan tentang mimpinya tersebut. Setelah beberapa hari berlalu Bito terus-terus memikirkan mimpinya tersebut dan akhirnya dia pun bertanya kepada Gina tentang maksudmimpinya itu. Sejenak Gina terdiam kemudian berkata kepada Bito” Dul kamu disuruh ayah menggunakan kelebihan yang kamu miliki itu untuk menjadi Bito yang seperti dulu lagi “ Itulah arti mimpi yang kamu alami kata Gina kepada Bito mendengar penjelasan Gina itu.......
Bito pun terdiam tanpa sepatah katapun dan dia bangkit dari tempat duduk lalu pergi mendengar penjelasan dari Gina, Bito pun berubah yang tadinya kelihatan sedih dan berantakan kembali berseri, seakan-akan kesedihan yang dirasakan tidak ada lagi dan dia telah berubah Bito seperti itu, Gina merasa sangat senag meskipun kaki Bito masih lumpuh tapi dia tetap beryukur karena telah mampu mengembalikan Bito seperti semula dan menghilangkan rasa kesedihannya serta membangkitkan semangat hidupnya yang hampir pudar akibat di tinggal mati oleh ayahnya.
Kabar tentang perubahan Bito seperti sedia kal dengan cepatnya tersebar keseluruh pelosok kampong sehingga orang banyak datang kerumahnya untuk diramal dan meminta nasihatnnya, hampir seluruh penduduk yang kenal dengan namanya tetapi walaupun terkenal dia tidak pernah merasa sombong dan besar kepala dengan kelebihan yang dimilikinya.
Selama hidupnya Bitotidak pernah memiliki pendamping hidup ( isteri) meskipun banyak para gadis yang pernah tertarik padanya dan bahkan berharap menjadi istrinya tetapi dia tetap tidak mau memilih satupun perempuan.
Itu sampai usianya lanjut Bito masih tinggal dirumah pamannya tapi karena semua anak pamannya diserah kepad Bito tapi melihat Bito sendirian di rumah itu merasa kasihan dan mengajak Bito tinggal bersamanya, awalnya Bito menolak ajakan itu kerana takut menyusahkan Gina tetapi berkat keteguhan dan kesabarannya Gina dalam meyakinkan Bito akhirnya Bitopu mau juga ikut dengan Gina. Di rumah Gina itulah Bito tinggal, disebuah rumah yang sangat sederhana tetapi Gina hidup bahagia, ruku dan harmonis.
Letak rumah Gina dengan rumah yang ditempatinya dulu kira-kira berjarak 5 kilometer dan harus menyeberangi sungai sehingga dengan mudahnya Bito bolak-balik dari rumah Gina ke rumah Bito yang dulu dan kegiatannya dia lakukan sampai dia tidak bisa lagi kesana atau dengan kata lainsampai dia jatuh sakit dan sampai akhirnya Bito pun menghembuskan nafas terakhirnya dirumah Gina, dalam detik-detik terakhir sebelum kematiannya Bito sempat tersenyum kepada Gina dan zenajahnya mengeluarkan bau harum yang semarak wanginya, manusuk hidung orang yang menghadiri pemakaman tersebut. Sehingga sungai yang sering dilewatuiBito itu dinamakan sungai seruyan.
Zenajah Bito dimakamkan dipemakaman umum yang letaknya tidak jauh dari rumah Gina. Tempat pemakaman Bito dianggap sabagai tempat yang keramat kerana Bito dianggap orang yang suci, tidak pernah berbuat dosa dan kesalahan semasa hidupnya dan ada juga sebagian orang yang menganggap Bito orang yang dekat dengan sang pencipta.
Sehingga setiap hari pasti ada saja yang jiarah ketempat pemakaman Bito dan orang yang jiarah ketempat bisa meminta kepada Bito tapi melalui perantaranya Bito, karena tempat pemakamannya keramat setiap orang yang jiarah ketempat tersebut pasti balik lagi ketempat tersebut untuk mendo’akan.
Bito sebagai ungkapan terimakasih kepadanya karena melalui perantranya semua apa yang diinginkan pasti terkabul, terkadang tidak jarang pula ada orang yang mengasihkan uang untuk biaya perbaikan pemakaman Bito. Dari tahun ke tahun para pengunjung yang kepemakaman untuk jiarah, tidak pernah berkurang bahkan tambah banyak pepengunjungnya. Terkadangtidak jarang untuk mengenang jasa-jasa Bito, para penduduk yang merasa berhutanmg budi kepadanya datang ketempat kelahirannyaBito ( daerah pulau yang tak berpenghuni lagi).
Entah kenapa kebiasaan berkunjung kedaerah tersebut pulau seakan-akan menjadi sebuah tradisi yang harus dilakukan penduduk khususnya penduduk seruyan kuala pembuang yang berdomisili tetap di daerah tersebut. Seiring dengan berjalanya waktu daerah tersebut berubah menjadi tempat wisata bagi masyarakat kuala pembuang, khususnya setiap hari raya baik harii raya idul fitri maupun idul adha tempat tersebut ramai di kunjungi para pengunjung yang ingin rekreasi.
Akhir-akhit ini dikatakan kalau pemakamannya Bito dipindahkan ketempat kelahirannya, katanya rohnya Bito sendiri yang meminta agar pemakamannya tersebut dipindahkan karena di merasa terganggu denganapa yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan namanya tersebut untuk meminta bayaran kepada setiap para penjiarah atau pengunjung yang datang berkunjung ketempat pemakamannya tersebut.katanya juga rohnya Bito merasuk ke dalam diri salah seorang kerabat dekatnya yang bernama jail, ia meminta dengan segera agar pemakaman tersebut di bangkar dan dipindahkan dan akhirnya pamakaman Bito dipindahkan ketempat kelahirannya dekat dengan daerah pulau dia waktu kecil dulu.
Walaupun sekarang jarak antara kota kualau pembuang dengan daerah pulau tersebut tidak dapat di tempuh dengan kendaraan bermotor hanya dapat di tempuh menggunakan perahusaja, namun tempat itu tidak pernah sepi dari pengunjung.
Demikianlah cerita yang dapat saya ceritakan tentang asal usul pulau saruyan dan kuburan keramat.

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

Pertempuran Di Pulau Kupang
 
Alkisah Temanggung Sempung sudah mengambil Nyai Nunjang menjadi istrinya dan di anugerahi seorang putri yang diberi nama Nyai Undang, seorang putri yang sangat cantik parasnya, seperti dewi turun dari kayangan. Maka Temanggung Sempung bermaksud akan mengambil Sangalang anaknya Mereng cucu dari Karangkang menjadi menantunya.


Maka tersiarlah kabar dimana-mana akan kecantikan Nyai Undang itu, dan berita itu pun sampailah kepada Raja Laut namanya Sawang. Maka datanglah Raja Sawang dengan balatentaranya, dengan maksud untuk mengawini Nyai Undang tersebut. Dan dia berjanji dengan semua balatentaranya, jika maksudnya untuk mengawini Nyai Undang itu tidak diterima, maka dia akan mengumumkan perang dengan kota Pulau Kupang itu.


Singkat cerita, dengan di iringi tempik sorak dan teriakan dari para pengiringnya, maka sampailah Raja Sawang di istana Nyai Undang tersebut. Tetapi malang akan tiba, waktu Raja Sawang akan melangkahkan kaki nya diatas Kayu-Nyilu dipintu gerbang istana, maka Raja Sawang terus jatuh, lemah lunglai segala sendi anggota tubuhnya, seperti orang yang tidak bertenaga lagi. Melihat akan hal yang demikian itu maka Nyai Undang lalu mengambil Dohong “Raca Holeng Joha, Kahajun Duun Suna Taja Panulang Karing, Hitan Iung Pundan, Sanaman Mantikei dari hulu Katingan Kuman Raha”. Oleh karena Sawuh (mengamuk) Nyai Undang terus turun mengamuk, semua balatentara Raja Sawang yang ada di Banama dibunuhnya. Balatentara Raja Sawang menderita kekalahan dan menyerah. Dan mereka yang hidup dijadikan tawanan dan dijadikan jipen atau budak beliannya.


Dari rakyat Raja Sawang dan Raja Nyaliwan (Raja Utara) yang masih hidup ada beberapa orang yang masih dapat melarikan diri dan membawa kabar tentang jalannya pertempuran. Setelah mendengar kabar inilah maka seluruh rakyat Raja Sawang berjanji akan menuntut balas untuk kematian Rajanya. Semua balatentara Raja Sawang yang menjadi tawanan tadi akhirnya kimpoi mengawin dengan suku dayak, sehingga mereka menjadi satu turunan yang besar yang akhirnya juga menjadi nenek moyang dari suku bakumpai ialah Tamanggung Pandung Tandjung Kumpai Dohong, dari suku barangas ialah Suan Ngantung Rangas Tingang, dari suku alalak ialah Imat Andjir Serapat.


Kabar bahwa Kerajaan Raja Sawang akan menyerang kota Pulau Kupang sampai pula ke Nyai Undang. Maka Nyai Undang mengirimkan utusannya ke Tumbang Pajangei. Dan bersama dengan utusannya itu dikirmkannya pula sebatang Lonjo Bunu atau tombak Bunu sebagai surat. Pesannya itu dikirimkannya kepada Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai di Tumbang Pajangei. Yang mana maksud dari Tombak Bunu itu adalah meminta bala bantuan untuk berperang.


Dengan tidak berpikir panjang dan membuang-buang waktu lagi Rambang, Ringkai membawa Temanggung Bungai Andin Sindai anak Temanggung Sempung yang paling berani dan gagah perkasa, serta Raja Tambun Tandjung Ringkin Duhong anak Serupoi. Keduanya adalah pahlawan yang pangkamenteng pangkamamute. Karena kedua pahlawan ini belum pernah satu kalipun mengalami kekalahan.


Adapun nama-nama para panglima yang turut serta untuk membela Pulau Kupang adalah:

1. Njaring anak Ingoi dari Hulu Miri

2. Bungai anak Ramping dari Tumbang Miri

3. Temanggung Kandeng keponakan Piak Batu Nocoi Riang Naroi

4. Isoh Batu Nyiwuh

5. Etak kampong Tewah

6. Temanggaung Handjungan dari Sare Rangan

7. Temanggung Basi Atang dari Penda Pilang

8. Temanggung Sekaranukan dari Tumbang Manyangen

9. Temanggung Renda dari Baseha

10. Temanggung Rangka dari Tumbang Rio

11. Temanggung Kiting dari Tanjung Riu

12. Temanggung Lapas dari kampung Baras Tumbang Miwan

13. Temanggung Basir Rumbun dari teluk Haan

14. Temanggung Hariwung dari Tumbang Danau

15. Temanggung Dahiang bapa Buadang dari Sepang Simin

16. Temanggung Ringkai dan Tombong dari Tangkahen

17. Temanggung Uhen dari kampung Manen

18. Temanggung Kaliti dari Rawi

19. Rakau Kenan dari Tumbang Rungan

20. Temanggung Kandang Henda Pulang dari Sugihan (Guhong)

21. Temanggung Andin dari Pulau Kantan
 
Tiada berapa lamanya berkat kerjasama dan saling mengerti satu akan yang lainnya, maka siaplah kota itu lengkap dengan persenjataannya. Dan diberilah nama oleh mereka akan kota itu “Kota Pematang Sawang” yang selalu siap sedia menerima kedatangan musuh. Istana tempat Nyai Undang dikepalai oleh Temanggung Rambang. Semua Panglima Perang dari sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan , Seruyan telah berkumpul didalam kota itu. Semua menjadi satu dengan tekad dan satu dasar ialah kerjasama yang erat. Tidak berapa lamanya, musuh(asang) pun datanglah. Jumlah Asang yang datang itu kurang lebih 10.000 orang banyaknya.

Sebelum peperangan dimulai maka Temanggung Rambang dan Temanggung Ringkai menenung sambil menyanyi. Maka dengan tiba-tiba datanglah burung Elang dan memberi tanda menang. Dengan tidak takut akan maut, mereka melawan dan menyerang musuh yang jauh lebih besar jumlahnya dari mereka. Dengan alat-alat senjata yang ada dan segala pusaka dari nenek moyang suku Dayak pertempuran berlangsung dengan seramnya. Darah mengalir dari tubuh balatentara musuh yang mati, membasahi tanah dan menjadikan air sungai berubah menjadi merah warnanya. Tetapi Panglima-Panglima suku Dayak semuanya tidak ada satu orang pun yang luka atau mati terbunuh oleh senjata musuh, karena mereka memakai pusaka dari Ranying.

Melihat akan ketangkasan serta keunggulan dari balatentara Nyai Undang yang pantang mundur itu, maka akhirnya mereka menyerah dengan marup. Di dalam peperangan yang demikian sengitnya itu, Temanggung Rambang lah yang sangat berjasa karena dia dapat memotong kepala asang tersebut. Semua kepala pasukan musuh mati terbunuh.

Setelah peperangan selesai maka di adakan lah pesta besar untuk memalas Temanggung Rambang dengan darah ayam, babi, sapid an darah orang yang dibunuhnya tadi, supaya tidak tulah karena demikianlah Adat Dayak. Selagi mengadakan pesta itu semua utusan suku Dayak dari seluruh Kalimantan di undang. Dalam pesta itu sudah berkumpul lebih kurang 35 wakil suku Dayak. Yang nama-namanya ada tertulis sebagai berikut:
1. Manan dari hulu Kahayan
2. Londoi dari Tabahoi
3. Djato dari Bahoi
4. Ibong dari Buit Kalimantan Utara
5. Ikuh dari Tinggalan (Tidong)
6. Tingang dari Bukat (Dayak Bukat)
7. Kuit dari hulu Rundit Bt Lupar
8. Parekoi dari Serawai
9. Tunda Luting dari Samba Katingan
10. Dekoi dari Malahoi
11. Unei dari dayak Sahiei
12. Tamban dari Katingan
13. Mahat dari Mahalat
14. Etas dari hulu Kapuas
15. Dalong dari Hampotong
16. Umbing dari Manuhing
17. Tukoh dari Mamaruh
18. Gana dari Mentaya
19. Nuhan dari Saruyan
20. Bakan dari Rungan
21. Sindi dari Miri
22. Bahon dari Bahaun
23. Sawang dari Siang
24. Djohan dari Taran
25. Sota Munan dari Maanyan
26. Pahan dari Kalangan
27. Sakai dari Serawai
28. Manoui dari Rakaoi
29. Punan dari Heban
30. Hinan dari Dusun
31. Djaman dari Kabatan
32. Ritu dari Uru
33. Lati dari Pari
34. Nanau dari Lamandau


Setelah selesai pesta tadi maka sampailah giliran pesta besar lagi untuk mengawinkan Temanggung Sangalang dengan Nyai Undang di Pematang sawang Pulau Kupang. Dan selain itu Mangku Djangkan membikin pesta besar di Pulau Kantan mengawinkan Njaring anak Ingoi dengan Manjang anak Mangku Djangkan, pesta itu tujuh hari tujuh malam lamanya.

Sedikit catatan tentang Pulau Kupang Pematang Sawang. Kota ini turun temurun berganti-ganti orangnya yang menjadi Raja disitu. Dan kotanya juga sering berganti. Hanya dalam tetek tatum tidak diceritakan tentang perubahan kota itu. Jaman sekarang di tempat itu ada terdapat meriam dan bekas peninggalan-peninggalan. Ditempat itu juga sudah diadakan parit yang di namai Terusan Bataguh. Hingga sekarang sering disebut kota Bataguh. Kayu-kayu ulin yang menjadi tiang dan tembok kota itu luasnya tidak kurang dari 5 kilometer persegi. (sumber dari Kalimantan Membangun)

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu
Dikatakan Juga
Petak Malai Buluh Merindu


Legenda ini berasal dari daerah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Tepatnya di daerah penduduk atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut Murung dan di daerah penduduk kampung Talung Nyaling. Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu ini asal mulanya ada di tanah Kayangan atau Danum Songiang.
Di tanah kayangan telah hidup dua orang perempuan yang sangat cantik yang bernama Bura dan Santaki ceritanya pada suatu hari kedua perempuan cantik ini turun kedunia atau anak Danum Kolunon untuk melihat dan mengamat-ngamati keadaan yang ada di anak Danum kolunon. Ketika sedang berjalan kedua perempuan cantik ini melihat bahwa di dunia atau anak Danum kolunan banyak sekali tempat-tempat yang sepi tidak ada sama sekali penghuninya. Sedang ketika kedua perempuan itu berjalan lagi ia melihat bahwa ada sekelompok manusia atau kolunon yang mendiami tempat tersebut.
Dalam hati kedua perempuan cantik itu bertanya kenapa di dunia manusia banyak sekali tempat-tempat sunyi dan sepi tidak ada penghuninya. Maka bersedihlah hati kedua perempuan yang bernama Bura dan Santaki itu. ketika kembali lagi ketanah kayangan, siang dan malam kedua perempuan itu merenungkan apa yang harus mereka perbuat. Supaya di dunia tidak ada lagi tempat sepi yang tidak ada penghuninya. Setelah berhari-hari kedua perempuan cantik itu memutuskan untuk menurunkan “Tana Malai Tolung Lingu tau petak Malai Buluh Merindu ke dunia atau anak Danum Kolunon sebagai songkolasan-songkolimo anak kolunon di muka bumi atau pindah ondou.Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu adalah benda keramat milik manusia di tanah kayangan.
Tana Malai atau petak malai adalah tanah yang bertahun-tahun dikumpulkan oleh burung elang dari seluruh penjuru alam dimana ia pernah singgah. Tana Malai ini dikatakan tanah keramat, tanah ini menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia terbang kea lam bebas dan pada saat kembali tanah itu akhirnya menumpuk dan akhirnya menjadi tempat burung elang itu tinggal atau menjadi tempat sarangnya.
Tana Malai itu berbau harum dan berwarna kuning keemasan. Konon cerita Tana Malai ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa memikat siapapun yang pernah menyentuh tanah tersebut.
Seperti halnya burung elang, walau kemanapun ia pergi atau seberapa jauh burung elang itu pergi, burung elang akan berusaha kembali kesarangnya, yang dikarenakan pengruh dari Tana Malai atau Petak keramat tersebut yang menempel pada kakinya dan kemudian menjadi tempat sarangnya. Sedangkan Buluh merindu adalah bambu.
Pada suatu hari di tanah kayangan kedua perempuan cantik “ Bura dan Santaki pun menurunkan ke dunia atau pindah Ondou atau anak Danum kolunon Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu”. Bura Hoburup atau ngipas pertama Tana Malai Tolung Lingu atau menurunkan Tana Malai Tolung Lingu ke dunia yang jatuh tempatnya di Gunung Pancung Ampang Hulu Barito. Selatan itu yang kedua Santaki Hoburuh atau ngipas atau menurunkan Tana Malai Tolung lingu yang jatuh di Gunung Bondang tepatnya di hulu Sungai Laung Tana Malai Tolung lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini telah ditemukan oleh orang di dunia atau anak kolunon panda ondou.
Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini di temukan oleh penduduk wilayah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu yang berada di daerah pedalaman sekitar tahun 1720 dan 1721.
Sekitar tahun 1720 Nyahu bin Sangen dan Conihan penduduk yang pertama kali menemukan Tana Malai Tolung Lingu. Kedua orang ini masing-masing merupakan penduduk kampung suku siang Kono atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut murung.
Keadaan penduduk suku siang kono pada waktu itu sangat primitive sekali baik cara berpakaian bahkan kondisi keberadaan mereka. Penduduk suku kono terkenal dengan daun telingga mereka yang lebar dan panjang yang disebabkan oleh benda-benda berat yang sengaja digantung pada dan telingga mereka sebagai anting agar tampak cantik bagi kaum perempuannya. Benda-benda itu berupa kayu, atau tulang-tulang binatang atau emas atapun perak. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-menurun dari nenek moyang mereka selain itu penduduk kampung suku kono pada zaman dahulu tidak mengunakan bersama selayaknya manusia pada zaman sekarang.
Tetapi mereka hanya mengunakan penutup badan yang tebuat dari serat-serat kayu disebut juga dengan enah yang hanya digunakan untuk menutupi tubuh di daerah sekitar kemaluannya.
Kehidupan penduduk suku kono pada saat itu hanya mengandalkan mata pencaharian berburu dan bercocok tanam secara berpindah-pindah
Pada tahun 1720 penduduk Suku Siang Kono yang bernama Nyahu Bin Sangen dan Conihan melakukan perjalanan untuk mencari sarang Burung ke Liang Gunung pancung Ampang yang tepatnya berada di antara Hulu Sungai Karamu dan Sungai Busang dan juga Hulu Sungai Chan anak Sungai Mahakam mati yang terdapat di Gunung Pancung Ampang yang di namai Cahai Uhai. Di puncak Gunung Pancang Ampanglah Nyahu Bin Sangen dan Conihan berusaha untuk mencari Tana Malai di sekitar Gunung Pancung Ampang itu kedua orang penduduk suku kono impun menemukan juga Tana Malai atau petah malai di lereng gunungPancung Ampang yang terdapat pada dinding atau batu lereng gunung ampang tersebut.
Untuk dapat mengambil Tana Malai, Nyahu Bin sangen dan Conihan terlebih dulu mengambil Tolung Ling yang telah mereka temukan. Kemudian barulah Nyahu Bin Sangen dan Conihan dapat mengambi Tanah Malai dengan Tolung Lingu mereka berdua mengambil Tana Malai dengan cara menyambung-menyambungkan Tolung Lingu dan dengan bagian ujung atas bambu Tana Malai diambil. konon cerita Tana Malai di ambil dengan mengunakan Tolung Linggu dikarenakan jarak antara Tana Malai berada di tempat tinggi di atas permukaan tanah tempat Nyahu Bin Sangen dan Colihan berdiri sehingga mereka mengunakan tolung lingu yang disambung-sambungkan hingga menjadi panjang dan juga dikarenakan Tana Malai tidak dapat sembarang di sentuh oleh orang. Tana Malai di ambil dengan bambu atau tolung Lingu dan masuk ke dalam Tolung Lingu atau bambu tesebut melalui bagian ujung atas bambu.
Ketika telah menemukan Tana Malai Tolung Lingu, Nyahu Bin Sangen memutuskan untuk kembali ke kampungnya untuk menceritakan kejadian itu kepada penduduk kampung mereka. Setelah melalui perjalanan yang Nyahu Bin Sangen dan conihanpun akhirnya sampai di kampungnya.....
Kedua orang ini segera menceritakan perihal penemuan mereka tersebut kepada Tua-tua adat dan penduduk lainnya kemudian Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Merindu bagi Suku Siang Kono dijadikan Songkolasan-Songkolimo atau pemikat atau penakluk hati. Konon ceritanya setiap orang asing atau tamu yang datang ke Hulu Barito, kalau mereka mandi atau minum air sungai barito mereka akan merasa lingo-lingo atau rasa ingin pulang kembali ke tempat asaalnya akan ditunda-tunda atau nanti-nanti saja dalam hatinya pada akhirnya tidak jadi pulang kembali ketempat asalnya tetapi akan kimpoi dan hidup menetap atau tinggal di Hulu Barito bersama dengan penduduk asli suku siang, punan, panyawung, ut Danum dan lain-lain. Sebab itu di Hulu Barito sekarang banayak sekali suku pendatang yang menetap disana.
Kemudian pada tahun 1721 Tana Malai Tolung Lingu telah di temukan oleh penduduk suku Siang Murung kampung Taluu Nyaling yang bernama “Nyaman” dan “Talawang Amai Meteh”. Tana Malai Tolung Lingu di temukan di gunung Bondang tepatnya di hulu sungai laung.
Kedu orang ini berjalan ke gunung Bondang, bermaksud untuk balampah atau bersemedi guna mencari alamat atau petunjuk yang baik agar memperoleh hidup sukses. Setelah melakukan perjalanan yang cukup dari kampungnya berhari-hari, kedua orang itu pun’ Nyaman dan Talawang Amai Meteh “akhirnya sampailah pada puncak gunung Bondang yang paling tinggi di antara gunung-gunung yang ada di daerah tersebut atau daerah murung Raya taua Puruk Cahu sekarang. Gunung Bondang yang paling tinggi itu disebut Lapak Pati.
Ketika Nyaman dan Talawang Amai Meteh telah berada di puncak Gunung Bondang di jumpailah Tolung lingu yang hidup di pncak Gunung Bondang tersebut. Kemudian mereka berdua mengambil Tolung Lingu dan mencari Tana Malai petak Malai dan akhirnyapun “Nyaman dan Talawang Amai Meteh” mendapatkannya.
“Nyaman dan Talawang Amai Meteh” telah menemukan Tana Malai buluh merindu sehingga mereka berdua memutuskan untuk membatalkan keinginan mereka untuk balampah atau bersemedi tetapi memutuskan untuk kembali ke kampung mereka kedua orang penduduk Suku Siang Murung ini melakukan perjalanan kembaali dengan melewati hutan belantara dan semak belukar dengan waktu yang berhari-hari. Sesampainya di kampung kedua orang itu menceritakan tentang Tana Malai Tolung Lingu yang telah mereka temukan kepada Tua-tua adat dan penduduk kampung mereka.
Tana Malai Tolung Lingu atau Petak Malai Buluh Merindu itu dijadikan Songkolasan-songkolimu penduduk Suku Siang Murung. Maka sebab itu kalau ada orang pendatang atau tamu yang mandi dan minum ari Sungai Laung, lalu merasa lingo-lingo atau lupa-lupa ingin pulang atau kembali ke daerah asalnya dan akhirnya menetap kimpoi dan menetap bersama penduduk asli di Hulu Sungai Laung yang sekarang menjadi Bumi Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.
Sampai pada saat inipun legenda ni masih di percaya oleh masyarakat di sepanjang sungai Barito Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Demikian Legenda rakyat Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.